The Bitches IV
Dari bagian 3
Aku baru tersadar saat kudengar pula suara desahan halus. Aku membuka
mataku. Aku melihat dari dekat. Aku melihat wajah Bu Retno dengan
sangat jelas. Ternyata Bu Retno telah sepenuhnya memelukku dan mencium
serta melumat bibirku.
"Jeng Marinii.., oohh Jeeng.., Jeng Marinii, kamu cantik sekali..,
saya sangat merindukanmu Jeeng.., saya selalu merindukan Jeng Marinii".
Aku kini baru sadar sepenuhnya. Rupanya kungkungan
serigala-serigala lapar dari kantor suamiku tak kunjung habis-habisnya.
Dan kini aku berada di pangkuan serigala betina tua yang sangat
kelaparan. Yang mampu memainkan peranannya dengan sedemikian hebat
hingga aku terjatuh di pangkuannya sebagaimana yang sedang berlangsung
saat ini. Dan tiba-tiba aku kembali merasakan getaran libidoku yang tak
mampu kutahan.
Aku sangat menikmati lumatan bibir Bu Retno yang sangat lembut ini.
Bu Retno, dekaplah aku lebih erat lagi. Aku juga selalu mengagumimu
selama ini. Aku selalu terpesona akan kecantikan dan kelembutanmu.
Dengan penuh kesadaran, kini tanganku meraih kepala Bu Retno dan
menekan lebih lekat bibirnya ke bibirku. Aku membalas lumatannya dengan
penuh birahi. Dan bermenit-menit kemudian kami saling melumat dan
mendesah-desah. Tak ada lagi air mata. Tak ada lagi rasa malu,
kekhawatiran dan ketakutan. Kini yang ada adalah dua anak manusia
berjenis kelamin perempuan yang sedang bersama-sama mengayuh kenikmatan
birahi sesaat untuk mendapatkan kepuasan biologis seksualitasnya.
"Bu Retno, aku juga selalu mengimpikan saat-saat seperti ini
bersama Ibu. Aku selalu memendam birahi pada Bu Retno yang selalu
tampil cantik, Bu".
Bu Retno tidak menjawabnya dalam kata-kata. Tangannya langsung
menyusup ke blusku, meremas payudaraku dan memainkan jari-jarinya pada
putingku. Aku menggelinjang menerima kenikmatan darinya. Aku cenderung
menyerahkan diriku sepenuhnya untuk memenuhi kehausan birahi Bu Retno.
"Jeng, ampuunn nikmatnya Jeng Marinii.., oohh..", Racau Bu Retno
sambil tangannya seakan dikejar setan mulai melucuti seluruh blusku.
Dan secepatnya pula dibenamkannya wajahnya ke dadaku. Bibir dan
lidahnya menyedot dan menjilati payudaraku beserta putingnya yang
kemudian juga merambah terus hingga ke lembah ketiakku.
"Jeng Marini, kamu cantik sekali.., aku rasanya bersedia jadi
budakmu Jeng Marini.., biarkan aku memandikan Jeng Marini dengan
lidahku. Aku akan sangat menikmati keringat-keringatmu Jeng. Ooohh..".
"Aku bersedia menceboki nonok dan pantat Jeng Marini setiap hari selesai membuang beban pagimu, sayang..".
Begitulah Bu Retno meracau tak karuan sambil terus menjilati
putingku. Tangan kanannya bergerilya ke pahaku. Dielusnya pahaku dengan
penuh kegemasan. Kemudian berpindah ke selangkanganku. Dicari-carinya
celana dalamku. Dielusnya celana dalamku yang lembab oleh keringat. Dia
gosokan tangannya seakan hendak memindahkan lembab celana dalamku ke
tangannya itu. Kemudian dia cari tepiannya. Dia susupkan jari-jarinya
agar menjangkau kemaluanku. Aku tergetar dengan hebat saat jari-jarinya
menyentuh bibir vaginaku. Aku mendesah.
"Bu Retnoo, aku merinding..".
Bu Retno memandangku nanar penuh arti.
"Jeng, kita pindah ke ranjang, yuk".
Dia membimbingku untuk pindah ke ranjangnya yang indah itu. Aku
didorongnya hingga tergolek diatas seprei sutra yang sangat lembut di
ranjangnya yang besar. Bu Retno langsung menindihku. Kembali dia
melumat bibir, leher, dada, puting dan bahkan ketiakku. Birahiku
menyala terbakar berkobar-kobar. Aku menikmati kepasrahanku untuk
melayani hausnya nafsu Bu Retno. Kenikmatan ini membawaku melayang
terlempar dalam alun birahi samudra lepas. Aku menutup mataku sambil
merasakan Bu Retno yang sedang melucuti rok, BH maupun celana dalamku
hingga aku benar-benar telanjang bulat. Kemudian Bu Retno juga melucuti
pakaiannya sendiri.
Kami saling memeluk dan bergulingan tanpa pakaian selembarpun yang
menghambat. Saling sedot, saling gigit, saling cakar dan saling
menjilat. Kurasakan betapa rakus dan binalnya perempuan ini. Umurnya
yang hampir 2 kali umurku sama sekali tidak mempengaruhi semangat
birahinya untuk meraih kepuasan seksualnya.
Dia sekarang merosot ke selangkanganku. Dia sangat obsessive dalam
mencium dan menjilati nonokku. Lidahnya berusaha agar sejauh-jauhnya
menjilat ke dalam vaginaku. Diangkatnya pantatku hingga pahaku terlipat
menempel di dadaku. Kemudian dibenamkannya kembali lidahnya ke liang
vaginaku sambil sesekali menyapu bibir kemaluanku dan mengisap
kelentitku. Melihat anusku yang merah ranum, lidahnya pun berusaha
menjangkaunya. Agar lebih memudahkannya, kuangkat lebih tinggi lipatan
bokongku.
Bu Retno ingin agar aku mengubah posisi. Dia berbisik dengan penuh
getar birahi. Ungkapannya dalam kata-kata yang sangat "erotis, seronok,
jorok, tak senonoh", merupakan ungkapan betapa dorongan birahinya telah
didominasi oleh bentuk kenikmatan nafsu birahi hewaniah yang telah
sedemikian rupa merendahkan martabat, harga diri serta penampilan
kesehariannya yang istri boss besar dan putri ningrat yang cantik dan
ayu. Bisikan itu diucapkannya dengan sedemikian gamblangnya walaupun
masih terdengar terbata dalam suara yang serak karena gelora birahinya.
"Jeng, nungging, yaahh.., A..ku p.., penasaran dengan lubang tt..,
tai Jeng Marini. Aku pengin menciumi sepuas-puasku. Aku ingin mengendus
tai Jeng Marini.., lidahku ingin merasakannya. Kk.. kalau Jeng mauu,
aku juga mau ma..kan tt.., ta..".
Aku sudah tidak lagi mendengar lanjutannya. Betapa vulgar dan tak
senonohnya. Di telingaku, kata-kata Bu Retno menjadi sensasi erotik
yang langsung mendongkrak birahiku. Aku sedemikian terhanyut dan meliar
mendengar kata-kata yang di keluarkan dari bibir putri ningrat yang
cantik dan ayu itu. Aku mengikuti keinginannya. Aku menungging
setinggi-tingginya. Dan kini aku benar-benar menjadi obyek Bu Retno
untuk menyalurkan naluri dan sifat hewaniahnya. Lidahnya mencuci
habis-habisan lubang pembuanganku yang sangat ranum ini. Aku sungguh
tenggelam dalam gairah dari kata-kata pujaan seronok Bu Retno tadi.
Pada kesempatan berikutnya, kulihat bagaimana dengan sangat histeris,
jari-jari tangannya di masukkannya ke liang vaginanya sendiri dan
dikocoknya. Rupanya Bu Retno benar-benar sedang tersiksa oleh gejolak
birahinya sendiri.
"Enak, Jeng. Enaak..", racau histerisnya.
Kemudian dia berubah menjadi sangat liar. Di gulingkannya tubuhku.
Ditelentangkannya aku. Dia kembali menyeruak ke tengah selangkanganku.
Kembali disedotnya vaginaku. Kembali digigitnya bibir vagina dan
kelentitku. Kedua pahanya menjepit paha kananku. Jempol dan jari-jari
kakiku yang berada tepat di bibir vaginanya dia bayangkan seolah penis
lelaki. Dia gosok-gosokkannya vaginanya ke jempol jari kakiku. Dan
kemudian dimasukkannya ke lubang vaginanya sendiri. Bu Retno mengentot
jempol kakiku, benar-benar seperti serigala betina yang kelaparan.
"Enak, Jeng. Enaak sekali Jeng".
Kemudian kulihat tubuhnya mulai meregang seakan dialiri listrik
ribuan watt. Tubuhnya mengejang. Pahaku dicakarnya dan kukunya seakan
hendak ditanamkannya ke daging pahaku. Saat itu juga aku langsung
meraih rambutnya. Kujambak dan kuelus secara berbarengan. Akhirnya Bu
Retno memperoleh orgasmenya. Dia berteriak histeris tanpa mempedulikan
kemungkinan bahwa suaranya akan terdengar oleh para pembantunya.
Nafasnya terus memburu saat kurasakan kedutan-kedutan nonoknya yang
beruntun disertai cairan hangat dari lubang vaginanya yang menyirami
jari-jari kakiku.
Akhirnya tubuhnya rebah. Dia lepas semua pegangan tangannya dari
tubuhku. Dia tergolek kelelahan. Tetapi dari wajahnya nampak senyum
penuh kepuasan. Kini ganti aku yang blingsatan. Serbuan histeris Bu
Retno telah membuatku terjerat tanpa mampu lagi menghindar dari seretan
nafsu birahiku.
Aku melihat Bu Retno telentang, dan kuperhatikan juga bibirnya yang
ranum dan seksi itu. Aku merunduk ke wajahnya. Kujilat sesaat bibir
itu, kemudian kukulum dengan sepenuh nafsu birahiku. Bu Retno tidak
merespons lumatan bibirku. Mungkin saking lelahnya. Tetapi aku justru
sangat menikmati kepasifan dan kepasrahannya itu. Kusedot mulutnya yang
terus mengalirkan ludah yang tak habis-habisnya dari kelenjar air
liurnya. Kemudian dengan leluasa, kuciumi tubuhnya yang sangat wangi
alami itu. Kucium dan kujilati ketiaknya yang berbulu lembut hingga
kuyup oleh ludahku. Kusedot juga payudaranya yang besar membukit.
Seperti layaknya bayi, kuisap puting-putingnya. Kuciumi perutnya yang
lembut, kusedot pusarnya. Kuisap pula jembutnya yang samar-samar itu.
Kemudian aku menyeruak ke selangkangannya. Kubuka lebar-lebar pahanya
untuk kutenggelamkan wajahku ke selangkangannya.
Kutemukan kelentitnya di antara bibir vaginanya. Kelentit yang
tumbuh menjepit liang vaginanya itu sedemikian besar dan mengeras oleh
tekanan darah yang naik ke urat-uratnya. Bibir vagina dan kelentit itu
kukulum dan kuisap demi memuaskan kehausan bibir dan lidahku. Cairan
vaginanya yang membasah setelah orgasmenya tadi masih mengalir dari
liang nonoknya. Aku tak tahan untuk tak menciuminya. Kubenamkan bibirku
hingga kuyup oleh cairannya. Kujilat dan kunikmati rasa sedap dan
gurihnya cairan Bu Retno. Aku semakin menggila. Aku ingin menirukan apa
yang telah dilakukan Bu Retno kepadaku. Kujepit paha kanannya dengan
kedua pahaku. Kumasukkan jari-jari kakinya ke lubang kemaluanku.
Kupompakan ke dalamnya. Kubayangkan jari-jari kaki Bu Retno yang seakan
penis lelaki. Kubayangkan kontol Basri yang sebesar pentungan itu
sedang menembus memekku. Aku menjadi lupa diri.
Sambil terus menjilati nonok berbulunya, pantatku naik turun
semakin cepat mengentot jari-jari Bu Retno. Makin cepat. Dan akhirnya
datang juga. Rasa kencingku kemudian mendesak dan langsung meluap ke
permukaan. Cairan birahiku menyembur-nyembur membasahi kaki Bu Retno.
Aku ngos-ngosan hingga tetes terakhir cairanku tumpah. Aku langsung
rebah ke samping tubuh Bu Retno.
Beberapa saat kami masih terlena, hingga terdengar ketukan halus di
pintu. Serta merta aku menarik seprei sutra ranjang itu untuk menutupi
tubuhku. Bu Retno sendiri bangun dengan tenangnya, masih dalam keadaan
telanjang berjalan menghampiri pintu. Dia mengintai dari lubangnya.
Kemudian pelan-pelan dibukanya pintu. Aku sungguh-sungguh terkejut.
Surti.., dia adalah Surtiku. Dia sempat melihatku sekilas sebelum Bu
Retno membuatku lagi-lagi terkejut.., dia langsung memeluk dan menciumi
leher serta bibir Surti. Sekali lagi aku terkejut, ternyata Surti
nampak telah terbiasa.
Aku akhirnya tahu. Daya analisisku dengan cepat menangkap makna apa
yang kini sedang terjadi di depan mataku. Semua ini ternyata adalah
sebuah konspirasi erotis antara Surti dengan Ibu Retno. Ini bukanlah
sebuah kebetulan.
Kehadiran Surti di rumahku adalah awal skenario konspirasi mereka.
Surti bertugas melakukan kondisioning. Surti mengkondisikan dan
memastikan bahwa aku bisa digauli oleh istri bossnya, tempat dimana dia
mengabdi. Aku kemudian dapat dengan jelas melihat "asap dan api"-nya.
Ah, dasar serigala-serigala betina.
Kini kulihat Bu Retno dengan sangat tergesa-gesa mulai melucuti
pakaian Surti. Dilemparkannya begitu saja pakaian Surti ke lantai.
Celana dalam dan BH Surti sengaja ditinggalkannya. Walaupun baru
kemarin selama hampir seharian penuh aku menggumuli Surti, tetapi belum
bosan-bosannya aku mengagumi indahnya tubuh Surti. Dadanya yang bidang
dengan buah dadanya yang sangat besar dan ranum itu sungguh mengundang
birahi bagi siapapun yang melihatnya, bahkan untuk sesama wanita
sekalipun. Pantatnya yang sintal membukit terhubung dengan pahanya yang
sangat kokoh sensual, hingga membuat khayalku terbang jauh ke langit
kenikmatan birahi. Dan dengan melihat betisnya itu, aku tak bisa
berhenti dari keinginanku untuk terus menjilatinya.
Ke bagian 5
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2016